Sunday, August 17, 2008

99. Arogansi Exxon yang Menghancurkan Dirinya

exxon1 1024x701 99. Arogansi Exxon yang Menghancurkan Dirinya
Seiring dengan perjalanan waktu banyak pengalaman dan cerita yang kita temui. Pengalaman yang baik akan menjadi sumber motivasi sebagai pendorong menjadi lebih baik. Pengalaman yang buruk menjadi sumber pembelajaran dan perbaikan dari situasi saat ini. Dalam kesempatan ini, Marketeers membagikan 100 Classic Marketing Stories sebagai sumbangan kecil pada dunia bisnis saat ini. Inilah kumpulan dari 100 kasus pemasaran menarik yang pernah terjadi sepanjang masa.

Banyak perusahaan dan organisasi pernah mengalami masa krisis selama perjalanannya. Namun hanya sedikit sekali perusahaan yang tidak memiliki kompetensi dan tidak bertanggung jawab dapat melalui kejadian kritis dengan baik, salah satunya adalah Exxon. Pada tahun 1989, Exxon Valdez tanker minyak karam dan mulai menyebarkan minyaknya pada pantai di Alaska. Dalam waktu singkat, sebanyak 1.260.000 barel minyak membanjiri lautan dan menjadi peristiwa kebocoran minyak mentah terbesar di sepanjang sejarah Amerika.

Setelah ditelusuri, ternyata kapten dan wakil kapten kapal tidak dalam kondisi yang layak untuk menahkodai kapan tanker. Pertama, wakil kapten tidak memiliki kualifikasi yang layak untuk menahkodai. Kedua, beberapa awak kapal termasuk kapten sedang dalam keadaan mabuk saat mengarahkn kapal.

Namun saat itu, Exxon tidak mengambil tindakan cepat untuk menanggulangi bencana ini. Sampai dengan lebih dari 24 jam pasca kejadian, Exxon tidak mengambil tindakan nyata untuk mencegah agar kontaminasi tidak menyebar ke wilayah lainnya. Dari segi publikasi, perusahaan juga tidak bersikap terbuka pada kalangan media. Saat beberapa media berusaha meminta keterangan dari perusahaan, Exxon selalu menghindar sementara itu minyak semakin menyebar tidak terkendali. Hal ini diperparah dengan buruknya cuaca saat itu ketika terjadi hujan yang besar dibarengi oleh angina yang kencang.

Seminggu setelah berlalu, bencana ini menarik Presiden Amerika saat itu. Presiden menyatakan bahwa bencana ini tergolong bencana nasional. Namun perusahaan tetap tidak melakukan usaha yang mencukupi dalam penanganan bencana. Jumpa pers yang dilakukan Exxon pun justru malah memperburuk image perusahaan di mata publik karena dalam siaran pers pihak perusahaan diserang habis oleh kalangan media, komunitas, dan penduduk lokal.

Komunitas lokal mengaku bahwa perusahaan telah memberikan janji akan membersihkan limbah yang mereka bocorkan dan menjaga kualitas hidup masyarakat sekitar. Akhirnya mereka kecewa dan memiliki persepsi buruk pada perusahaan. Usaha media untuk menggali informasi terus berlanjut. Pimpinan Exxon diundang pada satu acara bincang-bincang di televisi. Pada saat acara pimpinan tersebut terlihat gugup dan menolak untuk menjelaskan laporan yang diterimanya mengenai isu kebocoran minyak. Sebaliknya ia malah menyalahkan kalangan media yang terlalu melakukan pemberitaan berlebihan pada kejadian ini.

Kesalahan penanganan pada kejadian ini menyebabkan perusahan menderita kerugian dari dua sisi. Pertama adalah biaya yang besar (sebesar 7 miliar dolar) termasuk biaya pembersihan dan juga hancurnya reputasi perusahaan karena kesalahan dalam penanganan bencana. Akibat kejadian ini, Exxon jatuh dari urutan pertama menjadi urutan ketiga pada perusahaan yang beroperasi di industri minyak. Kejadian ini menjadi simbol arogansi perusahaan dan cerita ini terus diperbincangkan selama setahun penuh. Menurut survey yang dilakukan pada tahun 1990-an, 65 persen responden menyatakan bahwa kebocoran minyak ini adalah elemen penting dalam menaikan kesadaran public mengenai isu lingkungan.

Dalam kasus ini setidaknya terdapat dua isu penting yang dapat kita pelajari. Pertama sangat penting bagi perusahaan untuk memenuhi janji yang telah disampaikan. Hal ini sangat penting untuk menjaga hubungan dengan para stakeholder terutama dalam memupuk rasa kepercayaan. Kedua, bertindak sebagaimana perusahaan yang baik dan berkontribusi pada lingkungannya.
Artikel ini diadaptasi dari buku Brand Failures karangan Matt Haig

No comments: