Seiring dengan perjalanan waktu banyak pengalaman dan cerita yang
kita temui. Pengalaman yang baik akan menjadi sumber motivasi sebagai
pendorong menjadi lebih baik. Pengalaman yang buruk menjadi sumber
pembelajaran dan perbaikan dari situasi saat ini. Dalam kesempatan ini,
Marketeers membagikan 100 Classic Marketing Stories sebagai sumbangan
kecil pada dunia bisnis saat ini. Inilah kumpulan dari 100 kasus
pemasaran menarik yang pernah terjadi sepanjang masa.
Levi’s tidak diragukan lagi merupakan merk klasik yang banyak dikenal
di berbagai negara. Pada 100 classic marketing, pun penulis telah
membahas mengenai perkembangan merek yang satu ini mulai dari awal
sampai dengan keberhasilannya. Pada tulisan kali ini, kita akan membahas
perkembangan selanjutnya dari merk jeans paling terkenal di dunia ini.
Rahasia kesuksesan merek ini adalah kemampuan perusahaan untuk produksi
masal sekaligus unik secara bersamaan. Tidak ada merek lain yang populer
di berbagai kalangan (Presiden Amerika juga mengenakan merek ini) namun
juga berhasil mempertahankan jiwa pemberontakan, revolusi, dan melawan
budaya. Levi’s menjadi gabungan antra fashion dan anti fashion.
Namun merek ini mengalami masa sulit yang cukup membahayakan
perusahaan. Hal ini terlihat dari penurunan penjualan produk dari 7.9
milliar dolar Amerika pada tahun 1996 menjadi 4.3 juta dollar di tahun
2001. Perusahaan berusaha untuk mengembangkan produk dengan lebih luas
lagi. Mereka mengeluarkan sub brand “Silvertab” dan juga membuat lini
produk baru yang ditandai oleh tanda warna oranye. Namun hal ini
mendapat respon negatif di kalangan kritikus karena dianggap dapat
merusak image produk. Selain itu, Levi’s juga kurang dapat menahan
perkembangan beberapa merk jeans yang dibuat oleh desainer seperti
Calvin Klein, Diesel, dan Tommy Hilfiger. Levi’s hanya merespon situasi
persaingan ini dengan menghadapi kompetisi menggunakan inovasi seadanya
dengan merek yang sama. Padahal situasi saat itu merek sedang menghadapi
permasalahan serius.
Ancaman tidak hanya berasal dari lingkungan luar tapi juga dari
internal organisasi. Levi’s mencoba tampil sebagai merek yang inovatif
dan bergaya muda dengan mengeluarkan beberapa model yang cukup stylish.
Namun perusahaan sedang menghadapi fenomena “the law of diminishing
return” dimana pengeluaran pemasaran terus berkembang sementara nilai
brand itu sendiri mengalami penurunan. Melalui riset independen juga
ditemukan bahwa merek Levi’s ini gagal berada pada 75 merek teratas
dalam Interbrand 2000 Brand Valuation Survey.
Beberapa pengamat memiliki pendapat bahwa Levi’s sebaiknya
memfokuskan diri menggarap pasar tertentu dan menahan diri untuk
mengambil semua pasar dengan begitu banyak varian produk seperti apa
yang dilakukan saat ini. Perusahaan terlalu berambisi menyediakan semua
varian produk sehingga kehilangan ciri khas yang dimiliki. Dengan
memfokuskan diri menggarap suatu jenis produk, Levi’s dapat membangun
image perusahaan dengan lebih baik lagi.
Dari kasus ini kita belajar bahwa dalam mengembangkan usaha sebaiknya
usaha intensifikasi usaha menjadi pilihan pertama dibandingkan mencoba
membuat produk lain dengan merek yang sama. Al Ries juga pernah
mengeluarkan pernyataan “In the long term, expanding your brand will
diminish your power and weaken your image.” Selain itu perusahaan juga
sebaiknya memfokuskan diri pada kekuatan yang dimilki agar dapat
memberikan hasil maksimal. Jangan abaikan penanganan pada merek asli
perusahaan yang biasanya mendongkrak kinerja perusahaan sejak awal
berdiri karena biasanya merek ini telah memiliki pelanggan setia.
Artikel ini diadaptasi dari buku Brand Failures karangan Matt Haig
No comments:
Post a Comment