Sunday, August 17, 2008

100. Levi’s yang Tidak Fokus Menggarap Produk

levis latte 100. Levis yang Tidak Fokus Menggarap Produk
Seiring dengan perjalanan waktu banyak pengalaman dan cerita yang kita temui. Pengalaman yang baik akan menjadi sumber motivasi sebagai pendorong menjadi lebih baik. Pengalaman yang buruk menjadi sumber pembelajaran dan perbaikan dari situasi saat ini. Dalam kesempatan ini, Marketeers membagikan 100 Classic Marketing Stories sebagai sumbangan kecil pada dunia bisnis saat ini. Inilah kumpulan dari 100 kasus pemasaran menarik yang pernah terjadi sepanjang masa.

Levi’s tidak diragukan lagi merupakan merk klasik yang banyak dikenal di berbagai negara. Pada 100 classic marketing, pun penulis telah membahas mengenai perkembangan merek yang satu ini mulai dari awal sampai dengan keberhasilannya. Pada tulisan kali ini, kita akan membahas perkembangan selanjutnya dari merk jeans paling terkenal di dunia ini. Rahasia kesuksesan merek ini adalah kemampuan perusahaan untuk produksi masal sekaligus unik secara bersamaan. Tidak ada merek lain yang populer di berbagai kalangan (Presiden Amerika juga mengenakan merek ini) namun juga berhasil mempertahankan jiwa pemberontakan, revolusi, dan melawan budaya. Levi’s menjadi gabungan antra fashion dan anti fashion.

Namun merek ini mengalami masa sulit yang cukup membahayakan perusahaan. Hal ini terlihat dari penurunan penjualan produk dari 7.9 milliar dolar Amerika pada tahun 1996 menjadi 4.3 juta dollar di tahun 2001. Perusahaan berusaha untuk mengembangkan produk dengan lebih luas lagi. Mereka mengeluarkan sub brand “Silvertab” dan juga membuat lini produk baru yang ditandai oleh tanda warna oranye. Namun hal ini mendapat respon negatif di kalangan kritikus karena dianggap dapat merusak image produk. Selain itu, Levi’s juga kurang dapat menahan perkembangan beberapa merk jeans yang dibuat oleh desainer seperti Calvin Klein, Diesel, dan Tommy Hilfiger. Levi’s hanya merespon situasi persaingan ini dengan menghadapi kompetisi menggunakan inovasi seadanya dengan merek yang sama. Padahal situasi saat itu merek sedang menghadapi permasalahan serius.

Ancaman tidak hanya berasal dari lingkungan luar tapi juga dari internal organisasi. Levi’s mencoba tampil sebagai merek yang inovatif dan bergaya muda dengan mengeluarkan beberapa model yang cukup stylish. Namun perusahaan sedang menghadapi fenomena “the law of diminishing return” dimana pengeluaran pemasaran terus berkembang sementara nilai brand itu sendiri mengalami penurunan. Melalui riset independen juga ditemukan bahwa merek Levi’s ini gagal berada pada 75 merek teratas dalam Interbrand 2000 Brand Valuation Survey.
Beberapa pengamat memiliki pendapat bahwa Levi’s sebaiknya memfokuskan diri menggarap pasar tertentu dan menahan diri untuk mengambil semua pasar dengan begitu banyak varian produk seperti apa yang dilakukan saat ini. Perusahaan terlalu berambisi menyediakan semua varian produk sehingga kehilangan ciri khas yang dimiliki. Dengan memfokuskan diri menggarap suatu jenis produk, Levi’s dapat membangun image perusahaan dengan lebih baik lagi.

Dari kasus ini kita belajar bahwa dalam mengembangkan usaha sebaiknya usaha intensifikasi usaha menjadi pilihan pertama dibandingkan mencoba membuat produk lain dengan merek yang sama. Al Ries juga pernah mengeluarkan pernyataan “In the long term, expanding your brand will diminish your power and weaken your image.” Selain itu perusahaan juga sebaiknya memfokuskan diri pada kekuatan yang dimilki agar dapat memberikan hasil maksimal. Jangan abaikan penanganan pada merek asli perusahaan yang biasanya mendongkrak kinerja perusahaan sejak awal berdiri karena biasanya merek ini telah memiliki pelanggan setia.
Artikel ini diadaptasi dari buku  Brand Failures karangan Matt Haig

No comments: